CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Friday, March 25, 2011

Mus'ab Ibn Umair ; Sufara' lil Islam Pertama

Bismillahirrahmanirrahim...

Hari ini mahu berkongsi, berbekal semangat dan inspirasi anak muda, mari kita bersama renung sejenak kisah sufara' Islam (duta Islam) ini. Kisah anak muda, zaman Rasulullah ...      

     
                 As-syahid yang berlumur darah dan terkubur di tanah Uhud, kakinya ditutupi rumput-rumput harum, badannya hanya ditutupi sepetak kain wool yang tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Seseorang itu dulunya adalah anak kesayangan ibunya, diberi pakaian paling mahal. Harum perfumenya menyebar ketika dia berjalan. Dialah dulunya yang menjadi pembicaraan wanita-wanita Makkah, dan idola teman-temannya. Dialah seorang pemuda paling popular di kalangan kaum muda Quraish. Pemuda itu meninggalkan semua hal keduniaan itu untuk pergi memenuhi panggilan Allah dan mencari ridhaNya. Pemuda itu ialah Mus’ab bin Umair bin Hashim bin Abd Munaf atau yang dikenal sebagai Mus’ab al Khair.

                    Mus’ab yang saat itu masih muda mendengar tentang munculnya seorang nabi terpilih di kalangan kaum Quraisy. Seorang nabi yang membaca ajaran tauhid. Didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar, maka Mus’ab pun pergi menemui Nabi SAW untuk mendengar sendiri ajaran yang dibawa oleh baginda. Suatu malam, Mus’ab memutuskan untuk pergi ke rumah Al-Arqaam Ibn Al-Arqam  yang kemudian dikenal dengan Daar al Arqaam di kalangan muslim, meninggalkan teman-temannya yang sedang berkumpul. Di sinilah Mus’ab bertemu dengan Nabi SAW dan muslim-muslim lainnya ketika itu, tanpa diketahui oleh orang-orang Quraish. Di sinilah dimana Mus’ab mendengar Rasulullah berbicara tentang masa depan Islam, mendengar ayat-ayat quran dan solat di belakang Rasulullah SAW. Malam itu, Mus’ab duduk bersama muslim lainnya, mendengarkan ayat-ayat quran yang dikumandangkan oleh Rasulullah SAW. Ketika itulah, Mus’ab lupa akan kesenangan hidup di dunia, menemukan kunci kebahagiaan abadi.

                   Perjalanan Mus’ab dalam memeluk islam tidaklah mudah. Ibunya yang bernama Khunnas binti Maalik adalah penentang utama akan keyakinan barunya ini. Untuk menghindari pertengkaran, maka Mus’ab mula-mula tidak memberi tahu ibunya bahawa dia telah memeluk islam. Tetapi, melalui pembicaraan orang-orang yang sering melihat Mus’ab mengunjungi Daar Al-Arqam akhirnya ibunya pun mengetahui bahwa Mus’ab telah menjadi muslim. Ibunya yang terkenal sebagai seorang penyembah berhala yang kukuh memerintah Mus’ab untuk kembali ke agama berhala dan bertaubat, meninggalkan islam. Mus’ab menolak dan akhirnya dikunci di salah satu sudut rumah itu.

                      Berita bahwa kaum muslim hijrah ke Habsyah sampai ke telinga Mus’ab. Rindu akan bertemu dengan saudara-saudara seagamanya, Mus’ab pun melarikan diri dari ibunya dan penjaga-penjaganya, kemudian bergabung dengan muslimin yang pindah ke Habsyah. Tak lama kemudian, Mus’ab pulang ke Makkah untuk hijrah kedua kalinya bersama Rasulullah SAW ke Yasthrib. Ketika Mus’ab pulang dari Habsyah, Ibunya berusaha memenjarakan Mus’ab. Tetapi Mus’ab bersumpah akan membunuh siapa yang akan berusaha menangkap dan mempenjarakannya. Tahu akan keras dan teguhnya pendirian anaknya, Ibunya berikrar sambil bahwa Mus’ab tidak diakui lagi menjadi anaknya. 

“Pergi, kamu bukan anakku lagi.” Pada saat itu Mus’ab berkata pada ibunya,
“Oh Ibu, aku ingin menasihatimu dan sesungguhnya hatiku menyayangimu, ibu bersaksilah bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusanNya.

Dengan muka merah padam ibunya bersumpah “Demi bintang-bintang, aku tak akan pernah masuk ke dalam agamaku, merendahkan martabatku dan dan melemahkan fikiranku!”
Mus’ab memasuki Islam dengan sebenar-benarnya, mengikuti firman Allah dalam Al-quran yang berbunyi:

Udkhuluu fi silmi kaafah (Masukilah islam dengan sempurna/kaffah). 

Tiada lagi kemewahan pada dirinya, bajunya sederhana, makanan seadanya, dan tanah adalah tempat tidurnya. Suatu hari, Mus’ab pergi untuk bertemu beberapa muslim. Ketika itu mereka sedang duduk bersama Nabi SAW. Ketika mereka melihat Mus’ab, mereka menundukkan kepala sambil menangis diam-diam. Ingatan mereka kembali kepada seorang anak muda yang dulunya anak kesayangan sang ibu, dapat meminta apa saja keinginannya.Pakaian mewahnya dulu kini telah berganti dengan pakaian sederhana yang penuh tampalan, yang hampir saja tak mencukupi badannya. Ketika Mus’ab pergi meninggalkan majlis itu, Nabi SAW mengatakan: 

Aku lihat Mus’ab, dan sungguh tidak ada anak muda di Makkah yang lebih berpunya daripada ia. Tetapi semua kemewahan itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan nabiNya.”

Melihat perilakunya yang baik dan kesabarannya yang tinggi, Nabi Muhammad SAW menyuruh Mus’ab untuk pergi ke Yastrib untuk mengunjungi orang-orang yang telah melakukan perjanjian kepada Nabi di Aqabah, menyebarkan Islam, dan mempersiapkan kota Yastrib untuk hijrah nabi Muhammad SAW. Padahal ketika itu masih banyak sahabat-sahabat lain yang mempunyai kekuatan dan keberanian. Tetapi, Nabi Muhammad SAW tetap memilih Mus’ab untuk pergi ke Yastrib. Selama di Yastrib, Mus’ab tinggal sebagai tamu di rumah Sa’ad Ibn Zurarah dari suku Khazraj. Bersama-sama mereka mengunjungi penduduk Yathrib, menjelaskan ajaran tauhid dan melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Suatu ketika, Mus’ab dan Sa’ad duduk di sumur di daerah bani Zafar. Kemudian mereka didekati oleh Usayd Ibn Khudayr dengan muka merah padam dan tombak ditangan. Sa’ad berbisik kepada Mus’ab:
“Dialah pemimpin kaum ini. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah padanya.”
Mus’ab menjawab dengan tenang: “Jika dia mahu duduk, barulah aku akan berbicara dengannya.”
Usayd sangat marah kerana Mus’ab telah berhasil menyebarkan Islam dengan terus bertambahnya penduduk Yastrib yang memeluk Islam. Usayd berteriak: “Kenapa kamu berdua datang kepada kamu dan mempengaruhi kau yang lemah diantara kami? Jauhi kamu jika kamu masih ingin hidup.”
Mus’ab tersenyum dan berkata”Tidak maukah kamu duduk dan mendengarkan apa yang akan kami sampaikan? Jika kamu tidak menyukai apa yang akan
kami sampaikan, kami akan berhenti dan pergi”.
Usayd memutuskan untuk duduk dan mendengar apa yang Mus’ab ingin sampaikan.
Mus’ab mulai menerangkan mengenai Islam dan melantunkan sebagian dari Quran. Seketika ekspresi muka Usayd berubah. Kata pertama yang diucapkannya adalah: 

“Betapa indahnya ayat-ayat ini dan betapa benarnya kandungannya, bagaimana caranya memasuki agama ini?”

Mus’ab berkata: “Mandilah, bersihkan dirimu dan pakaianmu. Kemudian
ucapkanlah shahadat dan laksanakanlah shalat.” 

Usayd pun bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusanNya. Kemudian ia solat dua rakaat. Keislamaan Usayd inipun diikuti seorang pemimpin berpengaruh lainnya yaitu Sa’ad ibn Muaadh. Saat Nabi SAW hijrah, tidak satu rumah pun di Yastrib yang belum dikunjungi Mus’ab untuk menyampaikan islam. Pada hijrah berikutnya, Mus’ab membawa 70 orang muslim dari Yastrib untuk mengadakan perjanjian  dengan nabi Muhammad SAW.

                   Setelah pasukan muslimin menang pada perang Badar, kaum muslimin menangkap beberapa kaum kafir Makkah dan meminta tebusan akan mereka. Ketika Mus’ab melewati para tawanan ini, dia melihat abang kandungnya yang bernama Abu Aziz ibn Umayr. Mus’ab sama sekali tidak berusaha membebaskan abangnya, tetapi ia menyuruh agar abangnya itu diikat dengan erat sambil berkata: “Ibunya adalah seorang yang kaya dan akan memberi tebusan yang banyak, jagalah ia”. Ketika itu abangnya mengingatkan Mus’ab bahawa dia adalah abang kandungnya. Mus’ab menjawab : “Yang kuakui sebagai persaudaraan adalah persaudaraan dalam Islam, laki-laki ini adalah saudaraku, bukan kamu!”


 
~ Rijal dakwah harus belajar dari Mus'ab Ibn Umair ~


                    Ketika perang Uhud terjadi, Mus’ab dipilih untuk membawa panji bendera perang. Ketika pasukan pemanah meninggalkan bukit yang menjadi pengkalannya (melanggar perintah nabi), maka kaum kafir Makkah menyerang balik dan berusaha membunuh Nabi Muhammad SAW yang ketika itu dilindungi oleh beberapa sahabat. Seketika ada sebuah teriakan yang mengabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat. Pada ketika itulah titik kemuliaan hidup Mus’ab mencapai puncak. Ibrahim ibn Muhammad, saudara dari keluarga ayahnya, berkata; Mus’ab ibn ‘Umair membawa panji bendera perang ketika perang Uhud. Disaat pasukan muslimin berpecah-belah, Dia berdiri dengan tegap sampai ketika ia bertemu Ibn Qaami’ah yang seorang panglima pasukan kafir Mekkah. Ibn Qaami’ah kemudiah memukul dan memotong tangan kanannya namun Mus’ab tetap dengan teguh memegang bendera dengan tangan kirinya sambil berkata “Dan sungguh Muhammad SAW itu adalah seorang nabi, dan Nabi-nabi telah meninggal sebelumku”. Kemudian Ibn Qaami’ah memutuskan tangan kiri Mus’ab. Mus’ab tetap menegakkan bendera perang dengan lengan atas dan dadanya sambil berkata “Dan sungguh Muhammad SAW itu adalah seorang nabi, dan Nabi-nabi telah meningal sebelumku”. Kemudian datang prajurit kafir ketiga yang menghujamkan tombaknya ke dada Mus’ab.

                       Setelah Perang Uhud berakhir, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat kembali ke bukit Uhud untuk menguburkan syuhada-syuhada yang gugur, yang sebagian mayatnya sudah dirosakkan wanita-wanita quraisy yang mencuri barang mereka. Nabi Muhammad SAW berhenti sejenak ketika baginda melihat jenazah Mus’ab dan berkata: 

Diantara orang-orang yang beriman adalah mereka yang setia dengan janjinya dengan Allah. 

Kemudian Rasul SAW memandang ke jenazah-jenazah para syuhada dan berkata: Sesungguhnya nabi Allah ini bersaksi bahwa mereka adalah syuhada Allah pada hari Kebangkitan nanti. Ketika itu tidak cukup kain yang tersedia sebagai kain kafan untuk Mus’ab. Khabbab ibn Al-Arat menceritakan: Kami berhijrah mengikuti nabi hanya kerana Allah, maka akan kami terima balasannya dari Allah. Sebagian dari kami meninggal tanpa menikmati balasan apapun di dunia ini. dan salah satunya adalah Mus’ab ibn Umair, yang terbunuh pada perang Uhud. Dia tidak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah kain wool yang sudah cabik. Jika kami tutupi kakinya dengan kain ini, maka kepalanya tidak tertutupi. Rasulullah SAW kemudian menyuruh kami menutupi kepalanya dengan kain tersebut dan menaruh rumput di atas kakinya.

                 Ingatan tentang Mus’ab dalam kuburnyalah yang menyebabkan sahabat seperti Abdul Rahmaan ibn Auf untuk menangis kerana takut tidak mendapat bahagiannya di hari akhirat kerana telah mendapat banyak nikmat dan kemudahan di dunia ini. Suatu ketika, pembantunya membawakan makanan untuk berbuka puasa dan Ibn Auf menangis, mengingati Mus’ab yagn sudah meninggal tanpa dapat merasakan nikmat dunia, melainkan mendapatkan kenikmatan abadi di Alam Baqa'.

0 comments: